d4rk_wizard'07 FreeStyle

Let's ngeGo-Blog. . . GoBLOG ;)

Namanya Aini. Sosok kecil yang baru berumur delapan bulan itu tengah berdiri di dalam box tempat tidurnya. Jemarinya yang kecil memegang erat pinggiran box, berusaha untuk tetap berdiri di atas kakinya yang belum kokoh. Ia tengah menatap Jane. Dan ketika Jane tersenyum padanya, wajah mungil nan manis itu langsung balas tersenyum. Saat itulah Jane jatuh cinta padanya. Jatuh cinta pada pemilik mata polos dan indah itu.

Aini tumbuh menjadi gadis muda yang ceria dan bahagia. Bundanya adalah seorang wanita yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan. Namun, pernah juga sekali ia menanyakan mengapa ia tak memiliki seorang Ayah. Bundanya berkata bahwa sang Ayah adalah seorang tentara yang telah meninggal dalam tugas. Sejak itu, Aini tak pernah lagi membicarakan topik tersebut, karena ia tak mau bundanya sedih. Pastilah sangat menyakitkan ditinggal sang kekasih, pikirnya.

Sampai suatu hari, ketika ia bertengkar dengan Dita, sepupunya jauhnya, yang juga sekelas dengannya. Persoalan sepele, namun tampaknya Dita begitu marah. Dita kemudian mengatakan sesuatu yang membuat Aini shock. Sesuatu yang tak ingin dipercayainya namun sekaligus membuat jantungnya berdetak begitu cepat. Ia langsung berlari ke kantor bundanya dan memaksa untuk masuk.

Saat itu jane sedang menemui seorang klien, namun karena mendengar dari Riris sekretarisnya bahwa Aini ingin bertemu dengannya untuk sebuah urusan mendesak, Jane minta diri sejenak dengan kliennya dan menemui Aini. Baginya, putrinya adalah yang terpenting dari segalanya.

"Ada apa, Nak?"

Wajah Aini merah dan tegang. Tampak menahan kemarahan.

"Dita bilang aku anak angkat."

Jane terhenyak kaget. Ia baru akan duduk di kursinya saat itu. Gerakannya langsung terhenti.

"Dita bilang aku tak punya Ayah. Ayahku yang Bunda bilang telah mati dalam tugas itu adalah karangan Bunda semata. Aku ini dipungut dari panti asuhan."

Wajah Jane memucat. Jantungnya seakan terhenti saat itu juga.

"Dita bilang Bunda berbohong padaku tentang semuanya. Dan Ayah bundaku tak pernah menginginkanku. Benarkah semua itu Bunda?" tanya Aini dengan nada mendesak.

Ia berharap bundanya menggeleng dan menghiburnya bahwa Dita hanya iri padanya sehingga mengucapkan kata-kata kosong itu. Ia berharap bundanya menyambar telepon di meja, menelepon Tante Giska, ibu Dita dan menegur wanita itu atas omong kosong anaknya. Tapi bundanya hanya berdiri terpaku, tak mampu berkata-kata.

"Bunda..." Aini tercekat. Debaran jantungnya semakin cepat. Keringat dingin mulai mengucur dari keningnya. "Jangan katakan semua yang dikatakan Dita benar."

Dan seperti mendengar berita kematian dirinya, Aini merasa dunianya runtuh seketika bersamaan dengan anggukan pelan bundanya.

"Aku anak angkat? Jadi Bunda selama ini membohongiku? Bunda bukan bundaku???"

"Aini, dengarkan penjelasan Bunda dulu..."

"Tidak!" Aini bangkit dari kursinya dengan kemarahan yang meluap. "Jadi ayahku tidak mati dalam tugas? Jadi siapa ayahku? Siapa bundaku???"

Jane mendekat, mencoba meraih Aini. Namun gadis muda itu menepis tangannya dengan kasar.

"Maafkan Bunda, Nak..."

"Kau jahat! Kau bukan bundaku! Aku benci padamu! Kau tak tahu apa yang kurasakan ini!" sembur Aini tanpa sadar lagi apa yang dikatakannya.

Jane terhenyak, airmatanya jatuh. "Nak, maafkan Bunda. Maafkan Bunda..." Hanya kata-kata itu yang mampu diucapkannya berulang-ulang.

"Siapa orangtuaku? Aku ingin tahu!"

Jane menggeleng sedih. "Bunda pun tak tahu, Nak. Bunda pun tak diberitahu. Tapi Bunda tak akan melarangmu mencari tahu."

Dan berbekal dari nama dan alamat panti asuhan tempat dulu dirinya diambil, Aini mendatangi tempat itu. Berharap bisa menemukan jejak kedua orangtuanya. Namun sayang, pengurus panti yang lama telah meninggal dunia. Panti itu sekarang dipimpin oleh seorang wanita setengah baya bernama Ibu Tini. Menurut Ibu Tini, lima tahun yang lalu panti tersebut ditimpa musibah kebakaran dan semua dokumen mengenai anak-anak yang pernah tinggal di sana telah hangus terbakar api, yang artinya tak ada jejak sedikitpun yang tertinggal bagi Aini. Hancur sudah harapannya. Seketika itu hidupnya gelap tak bercahaya.

Karena merasa putus asa dan marah, Aini kabur dari rumah dan tinggal di rumah Anna, sahabat karibnya.

Suatu sore, bundanya muncul di sana. Aini tak mau menemuinya. Akhirnya bundanya pulang dan hanya menitipkan sebuah tas ransel pada Anna untuk diberikan pada Aini. Tas itu berisi semua perlengkapan pribadi Aini, termasuk buku diary-nya dan boneka beruang kesayangannya yang sedari kecil menemaninya. Dan juga sejumlah uang. Jane tahu anaknya pergi dari rumah tanpa membawa apapun, karena itulah ia singgah untuk memberikan barang-barang tersebut. Sebenarnya ia ingin membujuk Aini untuk pulang, namun ia pikir mungkin Aini belum memaafkannya, karena itu Jane malah menyiapkan barang-barang Aini agar Aini tetap merasa nyaman selama berada di rumah Anna.

Tapi hati Aini tidak tergerak sedikitpun ketika menerima barang-barang tersebut. Ia tak mampu melihat cinta dan perhatian bundanya. Setelah beberapa hari di rumah Anna, Aini mulai merasa bosan dan berniat pergi ke rumah omanya. Namun sejenak ia merasa ragu, bukankah omanya kini bukan omanya lagi? Apakah omanya masih mau menerimanya? Lagipula harusnya ia merasa marah juga pada omanya yang selama ini juga ikut membohonginya. Namun karena rasa rindu pada wanita tua itu semakin menggebu di hatinya, akhirnya Aini membulatkan tekad untuk pergi ke sana.

Omanya menyambutnya seperti biasa. Pelukan yang erat, ciuman yang mesra di pipi kanan dan kiri dan secangkir teh manis. Tidak ada yang berbeda. Bahkan senyum dan mata wanita itu tetap memancarkan kelembutan dan kehangatan yang sama. Hanya saja Aini menjadi sedikit canggung, tak bisa melupakan kenyataan bahwa dirinya hanyalah seorang anak angkat. Seorang asing di tengah-tengah keluarga mereka. Harusnya omanya sudah mendengar dari bundanya bahwa dirinya telah tahu tentang rahasia itu.

"Oma sudah mendengar cerita dari Bunda?" tanya Aini ragu.

Omanya mengangguk. "Oma punya cerita untukmu. Kau mau mendengarnya?"

Aini mengangguk cepat. Rasa penasaran menguasainya seketika. Akankah Oma menceritakan kisah hidupnya?

"Waktu itu bulan Desember. Bundamu mengunjungi sebuah panti asuhan dengan niat memberi sumbangan. Saat itulah bundamu melihatmu di sana. Kau masih berumur delapan bulan. Sepulang dari sana, bundamu menyatakan keinginannya pada Oma dan Opa untuk mengadopsimu. Saat itu kami menentang keinginannya."

Oma berhenti sejenak melihat reaksi Aini. Gadis itu tampak menahan napas.

"Bukan kami tidak menyukaimu, kami bahkan belum sempat melihatmu. Tapi Jane waktu itu masih berumur dua puluh lima tahun dan belum menikah. Dia memang memiliki pekerjaan yang bagus sebagai pengacara, pasti mampu membiayaimu. Namun dia belum menikah. Kami khawatir, bila suatu hari nanti Jane jatuh cinta pada seorang lelaki, apakah dia akan dapat menikah dengan status memiliki seorang anak angkat? Akankah lelaki itu menerimanya? Tapi Jane berkeras dengan keinginannya. Ia bilang ia telah jatuh cinta padamu."

Mata Aini berkaca-kaca mendengar penuturan omanya. Ada rasa sesak membuncah dalam hatinya.

"Sebulan kemudian, Jane pulang membawamu. Dia benar, kau malaikat termanis yang pernah kami lihat. Dan kami juga ikut jatuh cinta padamu."

Airmata Aini jatuh. Rasa bersalah kini mendekapnya erat. Orang-orang ini, yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengannya bisa mencintainya sedemikian besar?

"Dan semenjak itu, Jane tak pernah memiliki hubungan khusus dengan laki-laki. Lama kelamaan, Oma dan Opa tidak pernah menyesali hal itu lagi karena setelah melihat Jane yang menjadi seorang Ibu, betapa bahagianya dia, kami tak bisa tak ikut merasa bahagia. Dia telah menemukan hidupnya dalam dirimu."

Oma berdiri dan pindah duduk di samping Aini. Dipeluknya Aini seraya menghapus airmatanya.

"Tahukah kau kalau bundamu juga anak angkat?"

Aini terperangah tak percaya. "Anak angkat?"

Oma tersenyum dan mengangguk. Matanya memandang keluar, menerawang, seakan melihat lagi kilasan peristiwa di masa lalunya. "Dulu, setelah Oma menikah dengan kakekmu hampir lima tahun, kami tidak dikarunia seorang anakpun. Akhirnya kami memutuskan untuk mengadopsi seorang anak. Jane, bundamu. Kami menyayangi Jane seperti anak kami sendiri. Dan ketika Jane berusia dua puluh tahun, kami memutuskan untuk memberitahunya tentang jati dirinya. Awalnya bundamu terkejut, seperti juga reaksimu setelah tahu akan hal itu. Tapi setelah beberapa hari berlalu, bundamu datang berbicara pada Oma dan Opa. Kami bertanya apakah dia mau mencari orangtua aslinya? Kami bersedia membantu. Tapi bundamu menolak."

"Mengapa Bunda menolak?"

"Kata Bunda yang terpenting baginya bukan darah yang sama, tapi cinta yang ada di dalam hati kami dan hatinya." Oma mendekat,meletakkan tangannya di dada Aini. "Di sini. Cinta di dalam hati. Yang menyatukan kita semua sebagai satu keluarga."

Dan tangis Aini pun pecah. Ia teringat akan kata-kata kasar yang dilontarkannya pada bundanya beberapa hari yang lalu. Ia sungguh jahat, bundanya tak pantas menerima kata-kata itu. Bundanya tahu semua rasa yang dirasakannya karena bundanya pun sendiri pernah mengalami semua ini. Hanya saja bundanya tidak mempermasalahkan asal usulnya karena bundanya menghargai cinta yang begitu besar yang telah diberikan orangtuanya. Aini merasa malu. Malu karena tidak tahu akan pengorbanan bundanya untuknya. Malu karena lupa akan cinta bundanya untuknya. Bundanya benar, bukan darah yang terpenting. Cinta di hati lah yang terpenting. Cinta yang menyatukan mereka menjadi satu keluarga.


By Angel Li

0 comments:

Post a Comment

Followers

Jumlah Pengunjung

About this blog

Blog yang isinya macem-macem
Mulai dari Kehidupan gw yang gaq penting sampai isinya juga gaq penting, hehehe